MALANG-BISNIS.COM - Tak banyak yang tahu, di balik sukses film Iron Man, Terminator Salvation, atau Star Trek, ada kiprah anak Indonesia. Namanya, Andre Surya. Ia bertanggungjawab atas kecanggihan special effects. Siapa sebenarnya lelaki lajang berusia 26 tahun itu?
Jika cukup jeli, Anda pasti menemukan nama Andre Surya dalam kredit film Iron Man, Star Trek, Terminator Salvation, Transformers: Revenge of the Fallen, dan Iron Man 2, sebagai Digital Artist. Selain film-film itu Andre juga terlibat dalam penggarapan film Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull, Surrogates, dan Transformers: Revenge of the Fallen.
Lahir di Jakarta, , 1 Oktober 1984, Andre adalah satu-satunya digital artist asal Indonesia. Ia bernaung di divisi Industrial Light and Magic (ILM) Lucasfilm Singapore. Lucasfilm merupakan salah satu production company tersukses di dunia, yang didirikan tahun 1971 oleh George Lucas, sutradara Star Wars. Kini, ia sedang sibuk mengerjakan proyek film besar yang rencananya akan dirilis dalam waktu dekat.
Selain bermain bola, sejak kecil ia sudah tertarik pada visualisasi tiga dimensi. Selepas SMA, lajang berusia 26 tahun itu mengambil studi di Jurusan Desain Komunikasi Visual Univeritas Tarumanagara, Jakarta. Sempat bekerja di Polaris 3 D, sebuah perusahaan advertising and architectural visualization di Jakarta, ia kemudian terbang ke Kanada mengambil diploma di Film and Special Effects di Vanarts, sebuah sekolah film di Vancouver. Tapi, sebagian besar pengetahuan dan keterampilan 3D justru ia pelajari tanpa training dan sekolah formal. Ia menekuni Computer Graphic sejak kelas 1 SMA.
“Saya suka banget mengerjakan 3D dan saya juga dari dulu memang ingin bekerja di industri film. Buat saya ini adalah pekerjaan impian. Waktu masih kuliah, kadang-kadang saya mengkhayal bagaimana rasanya mengerjakan visual effects untuk sebuah film besar dan melihat nama kita muncul di credit title film itu. Sekarang semuanya udah benar-benar terwujud. It’s simply a dream come true!,” katanya dalam sebuah wawancara dengan Yahoo Indonesia, belum lama berselang.
Andre sempat beberapa kali mengantongi penghargaan lokal dan internasional. Gambarnya yang berjudul Somewhere in the Sky pernah ditampilkan di CGOVERDRIVE, konferensi Computer Graphic terbesar di Asia. Gambar itu juga memenangkan Excellence Award di buku Elemental 2 terbitan Ballistic Publishing dan Best Artwork Awards di Indocg Showoff Book, sebuah buku kumpulan CG art Indonesia. Karya lainnya, City of Enhasa, juga meraih juara satu di Future World Contest di www.3dkingdom.org
Sebagai seorang digital artist, Andre menggeluti banyak bidang seperti modelling, layout, lighting, dan compositing. Modelling adalah proses pembuatan model itu sendiri, seperti mobil, robot, dan sebagainya. Layout itu proses matching camera CG (computer graphics) dengan background aslinya. Lighting itu proses kreatif agar 3D yang di-produce terlihat menarik dan menyatu dengan background-nya aslinya dalam scope posisi cahaya. Sedangkan compositing itu proses penyatuan semua elemen yang ada. Menurut Andre, sebuah sebuah film rata-rata melibatkan sekitar 70 orang digital artist.
Iron Man adalah film pertama yang ia kerjakan. Setelah itu, ia terlibat dalam penggarapan sejumlah judul film seperti Star Trek, Terminator Salvation, Transformers: Revenge of the Fallen, dan Iron Man 2.. Ia juga ikut menggarap Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull, Surrogates, dan Transformers: Revenge of the Fallen. “Yang paling exciting adalah Transformers: Revenge of the Fallen, soalnya sebagian besar tugas saya di proyek itu adalah mengerjakan lighting,” katanya.
Menurut Andre, 3D sedang menjadi trend di industri film dunia. Ia menaksir tren itu akan terus bertahan hingga sepuluh tahun ke depan. Realita itulah yang mesti diantisipasi para pelaku industri film di tanah air. Menurut Andre, ada beberapa orang Indonesia yang sangat berbakat dan punya skill bertaraf International. Saat ini mereka rata-rata bekerja di perusahaan-perusahaan besar di bidang 3D di luar negeri. “Kalau saja mereka balik ke Indonesia dan membuka satu perusahaan dengan kualitas standard International, saya rasa sangat memungkinkan bila Indonesia menghasilkan film-film dengan kualitas standard International,” katanya. (MB67)
Jika cukup jeli, Anda pasti menemukan nama Andre Surya dalam kredit film Iron Man, Star Trek, Terminator Salvation, Transformers: Revenge of the Fallen, dan Iron Man 2, sebagai Digital Artist. Selain film-film itu Andre juga terlibat dalam penggarapan film Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull, Surrogates, dan Transformers: Revenge of the Fallen.
Lahir di Jakarta, , 1 Oktober 1984, Andre adalah satu-satunya digital artist asal Indonesia. Ia bernaung di divisi Industrial Light and Magic (ILM) Lucasfilm Singapore. Lucasfilm merupakan salah satu production company tersukses di dunia, yang didirikan tahun 1971 oleh George Lucas, sutradara Star Wars. Kini, ia sedang sibuk mengerjakan proyek film besar yang rencananya akan dirilis dalam waktu dekat.
Selain bermain bola, sejak kecil ia sudah tertarik pada visualisasi tiga dimensi. Selepas SMA, lajang berusia 26 tahun itu mengambil studi di Jurusan Desain Komunikasi Visual Univeritas Tarumanagara, Jakarta. Sempat bekerja di Polaris 3 D, sebuah perusahaan advertising and architectural visualization di Jakarta, ia kemudian terbang ke Kanada mengambil diploma di Film and Special Effects di Vanarts, sebuah sekolah film di Vancouver. Tapi, sebagian besar pengetahuan dan keterampilan 3D justru ia pelajari tanpa training dan sekolah formal. Ia menekuni Computer Graphic sejak kelas 1 SMA.
“Saya suka banget mengerjakan 3D dan saya juga dari dulu memang ingin bekerja di industri film. Buat saya ini adalah pekerjaan impian. Waktu masih kuliah, kadang-kadang saya mengkhayal bagaimana rasanya mengerjakan visual effects untuk sebuah film besar dan melihat nama kita muncul di credit title film itu. Sekarang semuanya udah benar-benar terwujud. It’s simply a dream come true!,” katanya dalam sebuah wawancara dengan Yahoo Indonesia, belum lama berselang.
Andre sempat beberapa kali mengantongi penghargaan lokal dan internasional. Gambarnya yang berjudul Somewhere in the Sky pernah ditampilkan di CGOVERDRIVE, konferensi Computer Graphic terbesar di Asia. Gambar itu juga memenangkan Excellence Award di buku Elemental 2 terbitan Ballistic Publishing dan Best Artwork Awards di Indocg Showoff Book, sebuah buku kumpulan CG art Indonesia. Karya lainnya, City of Enhasa, juga meraih juara satu di Future World Contest di www.3dkingdom.org
Sebagai seorang digital artist, Andre menggeluti banyak bidang seperti modelling, layout, lighting, dan compositing. Modelling adalah proses pembuatan model itu sendiri, seperti mobil, robot, dan sebagainya. Layout itu proses matching camera CG (computer graphics) dengan background aslinya. Lighting itu proses kreatif agar 3D yang di-produce terlihat menarik dan menyatu dengan background-nya aslinya dalam scope posisi cahaya. Sedangkan compositing itu proses penyatuan semua elemen yang ada. Menurut Andre, sebuah sebuah film rata-rata melibatkan sekitar 70 orang digital artist.
Iron Man adalah film pertama yang ia kerjakan. Setelah itu, ia terlibat dalam penggarapan sejumlah judul film seperti Star Trek, Terminator Salvation, Transformers: Revenge of the Fallen, dan Iron Man 2.. Ia juga ikut menggarap Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull, Surrogates, dan Transformers: Revenge of the Fallen. “Yang paling exciting adalah Transformers: Revenge of the Fallen, soalnya sebagian besar tugas saya di proyek itu adalah mengerjakan lighting,” katanya.
Menurut Andre, 3D sedang menjadi trend di industri film dunia. Ia menaksir tren itu akan terus bertahan hingga sepuluh tahun ke depan. Realita itulah yang mesti diantisipasi para pelaku industri film di tanah air. Menurut Andre, ada beberapa orang Indonesia yang sangat berbakat dan punya skill bertaraf International. Saat ini mereka rata-rata bekerja di perusahaan-perusahaan besar di bidang 3D di luar negeri. “Kalau saja mereka balik ke Indonesia dan membuka satu perusahaan dengan kualitas standard International, saya rasa sangat memungkinkan bila Indonesia menghasilkan film-film dengan kualitas standard International,” katanya. (MB67)
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar