(Malang-Bisnis.com) Setelah dipersiapkan sejak September tahun silam, Komite Inovasi Nasional (KIN) akhirnya mewujud. Dalam peresmian KIN dan Komite Ekonomi Nasional (KEN), Selasa kemarin, Presiden memberikan pengarahan yang sekaligus berisi pekerjaan rumah (PR) bagi kedua komite.
Meski berbeda jalur dan sifat, sesungguhnya muara PR kedua komite itu sama, yaitu kemajuan, kesejahteraan, dan kejayaan bangsa. Kini, setelah kedua komite terbentuk, tak bisa lain bagi anggotanya kecuali bekerja keras untuk mengerjakan PR yang diamanatkan Presiden.
Kerja keras tidak saja untuk menjaga reputasi individu anggota kedua komite, melainkan juga untuk mencapai cita-cita luhur yang menempel pada pendirian kedua komite dan, selain itu, juga untuk menjawab skeptisisme yang ada. Yang terakhir ini masuk akal karena sebelum ini pemerintah dinilai sering membentuk tim atau dewan, tetapi hasil nyatanya kurang dirasakan.
Apabila efektivitas tim atau dewan kurang dirasakan, hal itu—di sisi lain—tidak sepenuhnya kesalahan tim atau dewan. Kita maklum, birokrasi di Indonesia umumnya panjang dan di sana-sini masih sering muncul kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara. Selain itu, pada era komunikasi dan marketing, sebaik apa pun hasil, tetapi kalau tidak pintar mengemas dan mengomunikasikan, praktis ia nir-ada (non-existent).
Semua itu baik juga menjadi pelajaran bagi KEN dan KIN, yang sebenarnya juga merupakan saudara kembar. Sebagai komite yang ditegaskan Presiden bukan sebagai forum pembuat keputusan dan produknya bukan keputusan atau kebijakan, KEN dan KIN memang digagas hanya sebagai semacam think tank. Kita bisa membayangkan, kalau sampai apa yang direkomendasikan oleh KEN atau KIN—oleh satu dan lain pertimbangan—tidak dapat dilaksanakan, satu hari bisa muncul persepsi komite tidak bekerja atau hasil kerjanya tidak layak dieksekusi.
Potensi lain yang bisa muncul adalah—seolah mengulang era Orde Baru—bahwa apa yang digagas baik oleh KIN, belum tentu baik dilihat dari sisi KEN, mungkin karena membutuhkan investasi besar, misalnya untuk menghidupkan kembali industri strategis nasional. Persisnya untuk mencegah kemungkinan seperti inilah sesungguhnya dalam menjalankan misinya KEN dan KIN tidak dapat bekerja secara terpisah.
Menjawab tantangan zaman
Meski berbeda jalur dan sifat, sesungguhnya muara PR kedua komite itu sama, yaitu kemajuan, kesejahteraan, dan kejayaan bangsa. Kini, setelah kedua komite terbentuk, tak bisa lain bagi anggotanya kecuali bekerja keras untuk mengerjakan PR yang diamanatkan Presiden.
Kerja keras tidak saja untuk menjaga reputasi individu anggota kedua komite, melainkan juga untuk mencapai cita-cita luhur yang menempel pada pendirian kedua komite dan, selain itu, juga untuk menjawab skeptisisme yang ada. Yang terakhir ini masuk akal karena sebelum ini pemerintah dinilai sering membentuk tim atau dewan, tetapi hasil nyatanya kurang dirasakan.
Apabila efektivitas tim atau dewan kurang dirasakan, hal itu—di sisi lain—tidak sepenuhnya kesalahan tim atau dewan. Kita maklum, birokrasi di Indonesia umumnya panjang dan di sana-sini masih sering muncul kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara. Selain itu, pada era komunikasi dan marketing, sebaik apa pun hasil, tetapi kalau tidak pintar mengemas dan mengomunikasikan, praktis ia nir-ada (non-existent).
Semua itu baik juga menjadi pelajaran bagi KEN dan KIN, yang sebenarnya juga merupakan saudara kembar. Sebagai komite yang ditegaskan Presiden bukan sebagai forum pembuat keputusan dan produknya bukan keputusan atau kebijakan, KEN dan KIN memang digagas hanya sebagai semacam think tank. Kita bisa membayangkan, kalau sampai apa yang direkomendasikan oleh KEN atau KIN—oleh satu dan lain pertimbangan—tidak dapat dilaksanakan, satu hari bisa muncul persepsi komite tidak bekerja atau hasil kerjanya tidak layak dieksekusi.
Potensi lain yang bisa muncul adalah—seolah mengulang era Orde Baru—bahwa apa yang digagas baik oleh KIN, belum tentu baik dilihat dari sisi KEN, mungkin karena membutuhkan investasi besar, misalnya untuk menghidupkan kembali industri strategis nasional. Persisnya untuk mencegah kemungkinan seperti inilah sesungguhnya dalam menjalankan misinya KEN dan KIN tidak dapat bekerja secara terpisah.
Menjawab tantangan zaman
Arahan Presiden sendiri sistematis dan gamblang. Tentang inovasi, arahan diawali dengan pertanyaan sekitar makna inovasi, yang mencakup aspek luas, mulai dari cara pikir baru, cara membuat produk lebih baik, hal-hal yang memicu pertumbuhan, meningkatkan daya saing, hingga kemaslahatan di berbagai bidang, seperti pendidikan. Juga untuk kerisauan tentang lingkungan, inovasi juga memberi solusi untuk keberlanjutan lingkungan. Ringkas kata, inovasi ampuh untuk mendorong lahirnya kemajuan.
Lahirnya Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2010 tentang KIN menjawab apa yang selama ini dinanti oleh Ketua KIN Prof Zuhal, yaitu adanya konduktor bagi satu orkestra inovasi nasional. Namun, pandangan bernuansa top-down ini tak sepenuhnya disepakati. Cara bekerja inovasi yang berhasil bukan dengan merancang sistem yang bekerja di bawah arahan seorang dirigen. Di Amerika, seperti diperlihatkan oleh inovator ulung mulai dari Thomas Edison hingga Steve Jobs, inovasi yang berhasil lahir dari individu yang tercerahkan dan individu-individu tersebut tumbuh di ranah yang kondusif bagi lahirnya pencerahan.
Deputi Menteri Ristek Idwan Suhardi, misalnya, menyebut inovasi sebagai hal yang berkarakter emergence, kemunculan di masyarakat yang kondusif untuk itu. Bila ini kasusnya, KIN juga perlu memerhatikan skenario lain selain memformulasikan rencana induk sistem inovasi nasional. Skenario lain ini pada dasarnya lebih menyerahkan aktivitas dan dinamika inovasi kepada masyarakat. Pemerintah, demikian pula rekomendasi KIN, cukup memfasilitasi masyarakat dengan berbagai insentif. Sekadar mengulang contoh yang pernah disampaikan dalam kolom ini, ketika pemerintah sudah memutuskan akan memberi dukungan pada pengembangan industri kreatif, maka berbagai sisi pendukung industri kreatif harus dibuat lebih simpel dan lebih kompetitif. Tarif internet diturunkan, bea impor sarana dan prasarana teknologi informasi-komunikasi (TIK) diturunkan, pekerja dan penggiat TIK serta industri kreatif diberi penghargaan, strategi promosi dan marketing dipikirkan, dan seterusnya.
Garis bawahnya
Wacana bisa amat beragam, tetapi garis bawah atau bottom line-nya adalah konsep apa pun harus bisa menjawab sasaran paling penting atau ultimate goals dari KEN dan KIN, yaitu meningkatnya pertumbuhan, perekonomian yang lebih berdaya saing, dan kesejahteraan rakyat yang meningkat. Dalam konteks inovasi, perbaikan ini antara lain ditandai dengan semakin menonjolnya karakter knowledge-based society bangsa Indonesia, dengan makin banyaknya penemuan dan kiprah masyarakat dalam proses inovasi.
Kita menangkap, yang dimaksud Presiden tentunya adalah terciptanya budaya pemikiran mendalam (deep thought). Namun, inilah yang kita risaukan. Di era pragmatisme, di era gadget, sulit mencapai tataran deep thought, yang diperlukan bagi lahirnya kreativitas. Sebaliknya, di era gadget yang cenderung membuat orang multitasking yang cenderung dilakukan adalah blink, bukan think.
KEN dan KIN mendapat mandat hingga berakhirnya pemerintahan kedua Presiden SBY. Presiden menyadari, mentransformasi budaya masyarakat bukanlah soal mudah, hingga tugas KIN yang terkait dengan pengubahan nilai-nilai dimasukkan dalam tugas jangka panjang.
Inilah saatnya membuktikan bahwa KIN, juga KEN, berbeda dengan tim, komite, atau dewan terdahulu. Secara formal, KIN bertanggung jawab kepada Presiden, tetapi, secara informal, kemajuan bangsalah tolok ukur keberhasilannya. (MB-2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar