MALANG-BISNIS.COM - ARTIKEL PSIKOLOGI - Setiap orangtua pasti mengharapkan anaknya mengalami perkembangan seperti anak pada umumnya. Ketika harus berhadapan dengan kenyataan bahwa sang anak menyandang kesulitan yang menghambat perkembangannya, apa yang dirasakan? Kaget dan terpukul. Itulah pengakuan orangtua yang memiliki anak penyandang disleksia (kesulitan membaca) dan disgrafia (kesulitan menulis).
Mereka bukan anak-anak dengan tingkat kecerdasan rendah. Penyandang disleksia bahkan memiliki tingkat kecerdasan normal, bahkan di atas rata-rata. Adanya perbedaan dalam mengolah kata di otak membuat mereka menjadi berbeda.
Lia dan Dana, dua ibu yang setia di samping anak-anak mereka, berbagi kisah . Kisah mereka bangkit dari rasa terpukul dan memotivasi anaknya untuk melawan kesulitannya. Yang pasti, penerimaan dan kesabaran menjadi kunci utamanya.
Lia: Saya Sempat "Shock"
Lia mengaku sangat shock saat mengetahui putra sulungnya, Daka, mengalami gangguan konsentrasi dan berimbas pada kesulitannya dalam membaca. Daka pun diketahui sebagai penyandang disleksia saat ia berumur 6 tahun. Lia merasa kecolongan. Padahal, perkembangan anak tak lepas dari pantauan. Hanya, ia tak membaca pertanda.
“Saya memang kecolongan, enggak realize. Anak saya memang delay speech (terlambat bicara). Umur tiga tahun vocab-nya masih sedikit. Tapi, saya pikir, karena anak masih seumur dia, normal. Saat dia TK juga belum terdeteksi. Setelah masuk SD, baru ketahuan karena pelajarannya lebih banyak. Baru ketahuan ternyata dia mengalami kesulitan. Saya shock karena anak saya ini normal, very nice,” kata Lia saat menunggui anaknya yang kini duduk di kelas II SD Pantara, sekolah khusus bagi anak dengan kesulitan belajar spesifik.
Lia mengatakan, ia membutuhkan waktu untuk menerima keadaan anaknya dan memikirkan solusi terbaik yang harus dia tempuh. “Ya saya harus bangkit. Akhirnya, saya membawanya ke terapis selama satu bulan, baru kemudian diketahui bahwa dia mengalami gangguan konsentrasi dan kesulitan membaca. Setelah itu, saya pindahkan ke SD Pantara dan dia harus mengulang lagi dari kelas I,” ujar ibu empat anak ini.
Daka, kisah Lia, mampu mengeja. Namun, Daka mengalami kesulitan saat merangkaikan huruf menjadi satu kata ataupun kalimat. “Kalau ngeja, mau. Tapi begitu diminta merangkaikannya dalam satu kata, dia enggak mau. Kata dia, ‘Hurufnya terbang-terbang, Ma’,” kata Lia, menirukan perkataan anaknya.
Penyandang disleksia memang mengalami kesulitan dalam membedakan huruf dan seolah melihat huruf-huruf yang terangkai tidak dalam keadaan utuh. Tiga bulan setelah menjalani pendidikan di SD Pantara, Daka mengalami perkembangan berarti. Ia sudah bisa membaca dan konsentrasinya meningkat. Namun, Lia menekankan, orangtua yang memiliki anak dengan kesulitan spesifik seperti ini dituntut memiliki kesabaran dan tak memaksakan kehendak kepada si anak.
“Kadang kan ada orangtua yang tidak bisa menerima keadaan si anak yang memiliki kesulitan seperti ini. Kemudian mereka memaksakannya ke sekolah umum. Kasihan si anak. Untuk belajar, sebaiknya juga kita berdiskusi dan mengikuti kapan dia mau, sekalian mendidik dia bertanggung jawab, jangan dipaksakan. Anak-anak seperti ini tidak bisa dipaksa,” ujar Lia.
Lia pun tak akan memaksakan anaknya untuk pindah di sekolah umum, jika pihak sekolah memandang anaknya masih membutuhkan penanganan khusus untuk kesulitan yang dialaminya.
Dana: Saya Menerima Keadaan Anak
Dana tak kaget saat mengetahui bahwa anak bungsunya, Gilang, mengalami kesulitan dalam menulis (disgrafia). Kesulitan ini membuat anaknya harus mendapatkan pendidikan dengan penanganan khusus. “Saya menerima apa pun keadaan anak saya. Kalau saya down, nanti anak saya gimana?” kata Dana.
Sebenarnya, kisah Dana, kejanggalan pada pertumbuhan Gilang sudah dia deteksi sejak umur 2 tahun. Saat itu, Gilang termasuk terlambat bicara dan perbendaharaan katanya tak banyak. “Sejak umur dua tahun sampai masuk SD, saya terapi dengan psikolog. Tetapi, baru ketahuan kalau dia disgrafia saat kelas II SD. Karena di situ mulai banyak menulis dan ternyata dia itu enggak mau menulis,” ujarnya.
Gilang hanya mau mengikuti pelajaran dan menjawab pertanyaan gurunya secara lisan. “Kalau disuruh menulis, dia enggak mau. Katanya, tangannya melilit-lilit. Bagi dia, menulis itu seperti petani bekerja di sawah, berat dan melelahkan. Saya dulu hanya terfokus pada kemampuan bicaranya dan melupakan motoriknya,” kata Dana.
Padahal, secara akademis, nilai Gilang tak tergolong buruk. Akhirnya, Dana dan suaminya mengambil keputusan menarik anaknya dari sekolah umum dan memasukkannya ke sekolah khusus untuk anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik, yaitu SD Pantara. Gilang harus mengulang lagi dari kelas II SD. Kini ia sudah duduk di kelas IV. Ia pun mengalami perkembangan berarti. Meskipun, kata Dana, anaknya tak bisa dipaksa untuk menulis.
“Kalau di rumah, ya saya latih untuk memperkuat motoriknya karena disgrafia ini motoriknya, kasarnya, terutama di tangan, kurang. Maka dari itu, di rumah, saya ajak dia main basket, mendorong barang yang kira-kira bisa melatih motoriknya,” ujar ibu dua anak ini.
LIHAT :
- Anak Autis Bisa Masuk Sekola Umum, Asal...Mereka bukan anak-anak dengan tingkat kecerdasan rendah. Penyandang disleksia bahkan memiliki tingkat kecerdasan normal, bahkan di atas rata-rata. Adanya perbedaan dalam mengolah kata di otak membuat mereka menjadi berbeda.
Lia dan Dana, dua ibu yang setia di samping anak-anak mereka, berbagi kisah . Kisah mereka bangkit dari rasa terpukul dan memotivasi anaknya untuk melawan kesulitannya. Yang pasti, penerimaan dan kesabaran menjadi kunci utamanya.
Lia: Saya Sempat "Shock"
Lia mengaku sangat shock saat mengetahui putra sulungnya, Daka, mengalami gangguan konsentrasi dan berimbas pada kesulitannya dalam membaca. Daka pun diketahui sebagai penyandang disleksia saat ia berumur 6 tahun. Lia merasa kecolongan. Padahal, perkembangan anak tak lepas dari pantauan. Hanya, ia tak membaca pertanda.
“Saya memang kecolongan, enggak realize. Anak saya memang delay speech (terlambat bicara). Umur tiga tahun vocab-nya masih sedikit. Tapi, saya pikir, karena anak masih seumur dia, normal. Saat dia TK juga belum terdeteksi. Setelah masuk SD, baru ketahuan karena pelajarannya lebih banyak. Baru ketahuan ternyata dia mengalami kesulitan. Saya shock karena anak saya ini normal, very nice,” kata Lia saat menunggui anaknya yang kini duduk di kelas II SD Pantara, sekolah khusus bagi anak dengan kesulitan belajar spesifik.
Lia mengatakan, ia membutuhkan waktu untuk menerima keadaan anaknya dan memikirkan solusi terbaik yang harus dia tempuh. “Ya saya harus bangkit. Akhirnya, saya membawanya ke terapis selama satu bulan, baru kemudian diketahui bahwa dia mengalami gangguan konsentrasi dan kesulitan membaca. Setelah itu, saya pindahkan ke SD Pantara dan dia harus mengulang lagi dari kelas I,” ujar ibu empat anak ini.
Daka, kisah Lia, mampu mengeja. Namun, Daka mengalami kesulitan saat merangkaikan huruf menjadi satu kata ataupun kalimat. “Kalau ngeja, mau. Tapi begitu diminta merangkaikannya dalam satu kata, dia enggak mau. Kata dia, ‘Hurufnya terbang-terbang, Ma’,” kata Lia, menirukan perkataan anaknya.
Penyandang disleksia memang mengalami kesulitan dalam membedakan huruf dan seolah melihat huruf-huruf yang terangkai tidak dalam keadaan utuh. Tiga bulan setelah menjalani pendidikan di SD Pantara, Daka mengalami perkembangan berarti. Ia sudah bisa membaca dan konsentrasinya meningkat. Namun, Lia menekankan, orangtua yang memiliki anak dengan kesulitan spesifik seperti ini dituntut memiliki kesabaran dan tak memaksakan kehendak kepada si anak.
“Kadang kan ada orangtua yang tidak bisa menerima keadaan si anak yang memiliki kesulitan seperti ini. Kemudian mereka memaksakannya ke sekolah umum. Kasihan si anak. Untuk belajar, sebaiknya juga kita berdiskusi dan mengikuti kapan dia mau, sekalian mendidik dia bertanggung jawab, jangan dipaksakan. Anak-anak seperti ini tidak bisa dipaksa,” ujar Lia.
Lia pun tak akan memaksakan anaknya untuk pindah di sekolah umum, jika pihak sekolah memandang anaknya masih membutuhkan penanganan khusus untuk kesulitan yang dialaminya.
Dana: Saya Menerima Keadaan Anak
Dana tak kaget saat mengetahui bahwa anak bungsunya, Gilang, mengalami kesulitan dalam menulis (disgrafia). Kesulitan ini membuat anaknya harus mendapatkan pendidikan dengan penanganan khusus. “Saya menerima apa pun keadaan anak saya. Kalau saya down, nanti anak saya gimana?” kata Dana.
Sebenarnya, kisah Dana, kejanggalan pada pertumbuhan Gilang sudah dia deteksi sejak umur 2 tahun. Saat itu, Gilang termasuk terlambat bicara dan perbendaharaan katanya tak banyak. “Sejak umur dua tahun sampai masuk SD, saya terapi dengan psikolog. Tetapi, baru ketahuan kalau dia disgrafia saat kelas II SD. Karena di situ mulai banyak menulis dan ternyata dia itu enggak mau menulis,” ujarnya.
Gilang hanya mau mengikuti pelajaran dan menjawab pertanyaan gurunya secara lisan. “Kalau disuruh menulis, dia enggak mau. Katanya, tangannya melilit-lilit. Bagi dia, menulis itu seperti petani bekerja di sawah, berat dan melelahkan. Saya dulu hanya terfokus pada kemampuan bicaranya dan melupakan motoriknya,” kata Dana.
Padahal, secara akademis, nilai Gilang tak tergolong buruk. Akhirnya, Dana dan suaminya mengambil keputusan menarik anaknya dari sekolah umum dan memasukkannya ke sekolah khusus untuk anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik, yaitu SD Pantara. Gilang harus mengulang lagi dari kelas II SD. Kini ia sudah duduk di kelas IV. Ia pun mengalami perkembangan berarti. Meskipun, kata Dana, anaknya tak bisa dipaksa untuk menulis.
“Kalau di rumah, ya saya latih untuk memperkuat motoriknya karena disgrafia ini motoriknya, kasarnya, terutama di tangan, kurang. Maka dari itu, di rumah, saya ajak dia main basket, mendorong barang yang kira-kira bisa melatih motoriknya,” ujar ibu dua anak ini.
LIHAT :
- Mendeteksi Depresi Pada Anak
- Mengingat Allah Menentramkan Hati
- Pakai Merah, Pria Lebih Seksi ?
Kedua ibu ini berharap, pemerintah memberikan perhatian lebih kepada anak-anak berkebutuhan khusus seperti anaknya. Anak-anak penyandang disleksia dan disgrafia yang memiliki tingkat kecerdasan hanya membutuhkan penanganan yang lebih khusus dari para guru. Sementara itu, tak banyak sekolah yang menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti ini.(MB-1)
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar