MALANG-BISNIS.com - Dulu berbangga hati mengatakan: “Saya sahabat Ariel”. Senang luar biasa pastinya, mendapati diri sebagai salah satu orang dekatnya sang superstar yang berbakat dan dikagumi banyak orang. Namun kini, mendapati kondisi berbalik 180 derajat pada Ariel, masih cukup lantangkah mengaku sebagai sahabat

Mungkin Anda pernah mengalami hal serupa. Mendadak, seseorang yang kita banggakan dan sayangi kedapatan melakukan sesuatu yang mengecewakan. Sekonyong-konyong, hal itu mengarahkan kita ke dalam dilema bersikap. Mendukung atau mengabaikan, dua-duanya terasa salah. Toh, sebagai sahabat, tentunya Anda tidak mau juga, sesuatu yang dilakukan sahabat akan berujung sefatal kasus Ariel.

Lantas, apa yang harus kita lakukan pertama kali mendapati kenyataan sahabat melakukan sesuatu yang mungkin berakibat fatal bagi dirinya? Anggia Chrisanti Wiranto, seorang terapis dan konselor di Biro Konsultasi Psikologi WESTARIA, menyebut beberapa fase yang baiknya dilakukan seorang sahabat.


Diam dan mundur sejenak
Dalam fase ini, kita benahi dulu perasan dan pikiran kita. Lebih baik lagi jika fase ini kita manfaatkan untuk mencari kebenaran dari orang-orang atau pihak lain yang dapat dipercaya, yang sekiranya menguatkan dugaan atas perilaku menyimpang sahabat. Fase ini pun sangat besar manfaatnya bagi sahabat kita. Karena dengan kita tidak masuk dulu ke dalam permasalahannya, berarti kita memberikan sahabat waktu dan tempat untuk berpikir dan membenahi perasaannya sendiri.

Dan lumrah saat seseorang mengalami masalah, memilih untuk menutup diri, self defence, tidak mudah bahkan tidak mau menerima apa pun dari siapa pun, sekalipun sahabat. Lamanya waktu yang dibutuhkan berbeda pada setiap orang dan setiap kasus. Kapankah itu? Seorang sahabat pasti akan tahu tepatnya.

Mendatangi tanpa kepalsuan
Setelah fase pertama terlewati, baik untuk kita maupun sahabat, maka sebaik-baiknya kita datang tanpa kepalsuan. Jika harus menangis, menangislah bersama. Jika harus marah, luapkanlah. Ini lebih baik dibandingkan dengan datang dengan senyuman manis seolah tidak pernah ada “sesuatu”.

Mungkin fase ini akan dramatis, tapi insya Allah tidak akan fatal. Karena baik kita maupun sahabat sudah melalui masa terberat di fase pertama. Saat ini luapan emosi lebih karena empati, simpati, sayang, dan kasihan. Bukan lagi kemarahan dan kekecewaan baik kita kepada sahabat, maupun sahabat terhadap masalah yang menimpanya. Pada fase ini Anggia menyarankan agar kita tidak bertanya ini-itu, jangan menghakimi, jangan cross check (bila sebelumnya kita sudah mendapat informasi lain).

“Simpan semua yang kita tahu atau dengar dari pihak lain. Biarkan sahabat yang bercerita, meluapkan masalahnya. Apakah kemudian itu berbeda atau tepat seperti yang sudah kita dengar sebelumnya, tidak masalah. Kita harus menghargai ”versinya”, karena pada saat ini, sahabat hanya berharap kitalah yang mau mendengarkan.”

Perhatikan apakah sahabat butuh nasihat atau tidak
Mendengar pengakuan dari sahabat, tidak berarti bebas bagi kita untuk berpendapat atau melontarkan nasihat. Jika saat itu nampak sahabat tidak butuh nasihat atau masukan apa pun, jangan katakan apa pun. Bahkan seorang konsultan atau ahli sekalipun tidak bisa memberi nasihat kepada orang yang tidak memintanya.

Namun, jika kita melihat dia siap mendengarkan, katakan dengan sejujurnya apa yang kita rasakan, apa yang kita dengar. Kalau perlu sisipkan informasi yang kita dengar dari pihak lain, tapi dengan cara yang baik dan bijak. Tidak berkesan menggurui. Termasuk memberikan arahan yang baik untuk ke depannya, minimal arahan yang berkaitan dengan masalah yang sedang dihadapi.

Sahabat adalah yang mengatakan kebenaran, bukan yang membenarkan perkataan! Sepahit apa pun, kebenaran harus kita katakan, dengan cara yang paling baik dan nyaman untuk didengar sahabat kita tentunya. Dan pada akhirnya, yakinkan apa pun kemungkinan terburuk yang akan terjadi, kita akan tetap menemani.

Namun, tidak selalu masukan dan arahan yang kita berikan sebagai sahabat menjamin adanya perubahan perilaku.
“Saat memberi masukan dan nasihat, lakukan dengan cinta dan rasa sayang kita (saja). Ini proses pembelajaran bagi diri kita maupun sahabat. Lakukan dengan ikhlas, tanpa tendensi apapun terhadap sebuah hasil akhir. Karena saat hasilnya tidak sesuai harapan, salah-salah justru kita yang akan kecewa dan terpuruk, baik terhadap sahabat maupun persahabatan itu sendiri,” kata Anggia, lulusan Psikologi Universitas Islam Bandung.

Anggia menambahkan, dengan menjadi teman baik, akan berimbas positif bagi diri kita, lho! Karena di sana ada nilai kebaikan, silaturahim, saling mengingatkan, saling memberi nasihat, saling mengerti, saling menjaga, saling menghargai, dan saling menerima.
“Menjadi sahabat baik adalah baik, tapi menjadi sahabat yang benar itu jauh lebih baik,” tandasnya.(MB-12)

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Membuat Web Langsung Jadi ? INDO9.COM