MalangBisnis.com - Hati-hati, lo, Bu-Pak, jangan sampai salah pilih TK. Si kecil bisa tertekan. Pindah "sekolah" adalah solusi terbaik bila pihak "sekolah" tak bisa diajak bekerja sama. 
Bila sang buah hati menunjukkan tanda-tanda malas masuk "sekolah", Bapak dan Ibu perlu waspada. Terlebih lagi bila dibarengi suka mengompol saat tidur. Hal itu merupakan pertanda si kecil merasa tertekan di "sekolah". Penyebabnya macam-macam; bisa karena pembelajaran yang salah, pemberian PR yang menumpuk, sampai hubungan antar teman yang
tak harmonis. 

Pada beberapa TK, seperti dituturkan Hj. Anggani H. Sudono, MA,strict . "Begitu masuk 'sekolah', anak langsung didudukkan ke kursinya, semuanya harus tertib dan rapi. Padahal, untuk anak setingkat TK, hal ini akan sangat menekannya. Ia merasa ada keterkekangan dalam dirinya." Apalagi saat pulang ke rumah pun ia masih dibebani PR yang menggunung, "jelas saja ia megap-megap.

Tak heran bila akhirnya ia mengompol atau malas berangkat 'sekolah'." Itulah mengapa, tandas anggota Badan Pembina Akademik di Perguruan Islam Al Izhar Pondok Labu, Jakarta ini, pentingnya memilih TK yang tepat sebelum memasukkan anak ke "sekolah". 


 "Jangan hanya terpaku pada alasan karena dekat atau favorit, tapi pilihlah TK yang bisa memberi kesempatan pada anak seluas-luasnya dan bisa mempunyai pilihan untuk membentuk dirinya sebagai individu pengambil keputusan kelak." Artinya, "sekolah" tersebut harus memberi kesempatan anak untuk memilih. Misalnya, kamu boleh memilih mainan apa yang kamu sukai, kamu boleh mengerjakan apa yang ingin kamu kerjakan. Selain itu, anak TK juga lagi senang-senangnya bereksplorasi karena di usia ini, anak sedang masanya banyak bereksplorasi dan main. Dengan demikian, pengetahuan-pengetahuan tambahan seperti membaca, menulis, bahasa Inggris dan komputer, sebaiknya dilakukan dengan cara bermain. 

BAHASA INDONESIA HARUS BENAR
Memang, diakui Anggani, sekarang ini banyak TK yang memiliki program pengajaran bahasa Inggris dan komputer. "Umumnya, orang tua yang memilih TK berbahasa Inggris karena mengetahui pentingnya bahasa Inggris. Kebanyakan datang dari orang tua keturunan Cina. Mungkin karena mereka memikirkan kelak kalau anaknya melanjutkan sekolah ke Taiwan, Singapura, Hongkong, Cina. Nah, kalau bahasa Mandarinnya tak begitu bagus, maka bahasa Inggrisnya harus bagus sehingga anaknya bisa survive ," tutur pakar pendidikan ini. 

Selain itu, bila ibu-bapaknya sejak kecil memang bersekolah di luar negeri sehingga sering menggunakan bahasa Inggris di rumah, maka mereka ingin anaknya pun bisa menggunakan bahasa Inggris. Jadi, dipilihlah TK yang berbahasa Inggris. Walaupun Anggani tak menutup kemungkinan adanya alasan gengsi, "biar tampak keren karena anaknya sudah bisa berbahasa Inggris. Biasanya kalau yang demikian, targetnya juga tak tinggi-tinggi amat, cukup anaknya mengenal one, two, three saja mereka sudah puas." 

Toh, apapun alasannya, menurut Anggani, boleh-boleh saja anak dimasukkan ke TK yang bilingual atau sekaligus mengajarkan komputer. Yang penting, bahasa Indonesia si anak sudah benar dulu. "Kalau bahasa Indonesianya sudah betul, mau berubah ke bahasa lain tak jadi masalah. Memang, untuk anak-anak yang tinggal di Jakarta, penguasaan bahasa Indonesianya sudah tak jadi masalah. Tapi untuk anak-anak di daerah yang bahasa ibunya adalah bahasa daerah, maka bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua. Jadi, kalau ditambah bahasa Inggris, maka itu akan menjadi bahasa ketiga." 

Walaupun begitu, tak perlu khawatir bila ingin mengajarkan bahasa-bahasa tersebut pada anak. Penelitian mengatakan, makin dini anak dieksposkan ke bahasa kedua, makin cepat ia menangkap. "Saya juga sejak kecil bilingual. Di rumah, kami sejak kecil biasa ngomong pakai bahasa Jawa dan Belanda. Bahasa Indonesia malah saya kuasai belakangan. Tanpa merasa kesulitan, sejak kecil saya biasa mengalihkan bahasa-bahasa ini sesuai kebutuhan. Kalau di rumah bahasa Jawa, kalau di sekolah bahasa Belanda," tuturnya. 

PENGAJARANNYA HARUS BENAR
Yang penting, tekan Anggani, pengajarannya dilakukan dengan bermain. Misalnya, lewat lagu. "Jadi, enggak belajar khusus seperti belajar structure , tapi bermain bahasa." Selain itu, harus ada waktu yang pasti dalam belajar. Misalnya, dari jam 9 hingga jam 10 pengajarannya memakai bahasa Indonesia, "jangan dicampur aduk dengan pengajaran bahasa Inggris. Nanti dari jam 10 hingga jam 11 baru pengajaran diganti memakai bahasa Inggris dan sama sekali tak ada bahasa Indonesianya. Dengan demikian akan terlihat hasilnya."

Bila campur-baur, terangnya, anak akan bingung. Nanti bahasa Indonesianya enggak betul, bahasa Inggrisnya juga enggak bagus. "Tentu saja, pengucapan bahasa Inggris pada gurunya juga harus betul," lanjut Anggani. Kalau tidak, akan membuat language disorder  pada anak. "Anak tak bisa menaruh bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di tempat semestinya," tambahnya. Bila demikian, maka pengajaran bahasa Inggris sebaiknya dihentikan dulu. Bila pengajarannya sudah benar dan menggunakan buku-buku referensi dari luar, menurut Anggani, biasanya anak tak akan kesulitan dalam menyenangi pelajaran bahasa Inggris. 

"Umumnya, buku bahasa Inggris, kan, banyak gambar. Terlebih buku-buku dari luar, gambar dan warnanya banyak yang menarik sehingga anak pun akan senang dan suka dalam mempelajarinya. Jadi, kadang yang kita kira akan jadi beban ternyata tidak buat anak." Lagi pula, sambungnya, pengajaran bahasa Inggris di TK pun biasanya tak terlalu tinggi. "Untuk anak TK, kalau ia sudah bisa menyebutkan lima barang saja sudah bagus." Namun tentunya dengan pemahaman yang benar, lo. Misalnya, ia bisa menyebutkan "This is red. This is not red, but this is blue.This is blue book ." 

Nah, itu saja sudah bagus. Tapi bukan berarti karena masih di tingkat TK maka pengajaran bahasa Inggris bisa seenaknya. "Kadang masih banyak guru yang mengajarkan bahasa Inggris seenaknya. Masa hanya dengan menunjukkan gambar berwarna merah langsung bilang, 'Red. Red book .' Bukannya bilang, 'This is red. This is red apple. This is blue. This is blue book ,' dan sebagainya." Jadi, walaupun materinya terbatas, pengajaran tetap harus benar. 

KOMPUTER DAN BAHASA INGGRIS BERKAIT
Mengenai pengajaran komputer, terang Anggani, selalu bersamaan dengan bahasa Inggris karena hampir semua games  di komputer menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, games untuk anak TK hampir semuanya tentang hal-hal yang mendukung untuk membaca dalam bahasa Inggris karena biasanya berupa sound  lambang atau gambar, baik suara vokal maupun konsonannya. Dengan demikian, kalau belajar komputer, secara tak sengaja anak juga belajar bahasa Inggris. "Belajar bahasa Inggris lewat komputer itu akan lebih memudahkan buat anak, lo. Terlebih lagi instruksinya hampir semuanya pakai bahasa Inggris." 

Sama halnya dengan pengajaran bahasa Inggris, mantan pengajar di JIS (Jakarta International School) selama 26 tahun ini, juga melihat tak ada masalah bila anak diajarkan komputer. Justru dengan anak mengenal komputer, setidaknya kala ia di rumah bisa meng-handle peralatan komputer orang tuanya. "Ia bisa ambil disket, memasukkan disket dengan benar, bahkan dapat mengoperasikannya dengan benar pula." 

Namun tentunya, pengajaran komputer juga harus sesuai dengan perkembangan anak, yaitu dengan main-main sehingga anak akan enjoy  dan tak jadi beban. Tapi kalau diajarkannya seperti mengajarkan komputer pada orang dewasa, "ya, anak akan bingung. Di usia ini, pengajaran komputer hanya sekadar melihat dan mengasosiasikan apa yang dipencet di keyboard  dengan gambar dan suara yang muncul di layar." 

ORANG TUA HARUS KRITIS
Bila pengajaran bahasa Inggris dan komputer maupun pengetahuan lainnya tak benar, saran Anggani, sebaiknya orang tua memberi tahu pihak "sekolah". "Sekolah' yang baik pasti akan tanggap atas keluhan orang tua muridnya karena 'sekolah' ini, kan, harus berusaha menjadi 'sekolah' masyarakat." Kepala TK yang waspada, lanjutnya, akan selalu bertanya pada orang tua mengenai anaknya kala di rumah. "Bila anaknya terus-terusan ngompol  atau susah dibangunkan, maka kepala TK-nya harus introspeksi. 

Lihat lagi programnya dan apa yang terjadi pada anak sejak ia masuk 'sekolah'. Jangan-jangan sistem pembelajarannya yang tak benar sehingga anak merasa terbebani." "Sekolah", terang Anggani, harus memberi hak kepada anak. Bila anak pandai diberikan haknya, maka anak yang sedang-sedang saja atau malah kurang pun tetap berhak mendapat pengajaran yang baik. "Mereka berhak mendapat kebahagiaan dalam belajar. Mereka bayar sama mahalnya, kok." Jadi, tandasnya, orang tua harus kritis dalam melihat pengajaran pada anaknya. 

PINDAH "SEKOLAH"
Bila orang tua sudah melancarkan kritik dan "sekolah" tetap bersikukuh pada programnya, Anggani setuju orang tua memindahkan anaknya dari "sekolah" tersebut. "Kalau kita lihat anak kita sangat kesulitan dan tertekan terus-menerus, apa, ya, kita ingin anak kita hancur?" ujarnya. Jadi, hanya ada 2 pilihan, "sekolah"nya yang harus dibenahi atau si anak dipindahkan. Saya juga pernah 'mencabut' anak saya dari TK-nya," aku Anggani. 

"Saya lihat seminggu, kok, anak saya ngompol  terus. Pulang 'sekolah' juga ia tak bisa bermain bebas karena mendapat PR yang banyak, yaitu diminta menulis suku kata banyak sekali. Padahal, anak saya masih di TK A," tuturnya. Lantas, Anggani pun bertanya kepada guru anaknya, apa saja dalam setahun yang diajarkan. Si guru pun menjabarkan programnya dan program tersebut ternyata tak bisa diubah. 

"Saya katakan, program itu baik sekali tapi bukan untuk anak saya. Jadi, saya mau mengambil anak saya, walaupun mereka mencoba menahannya. Lha, anak saya sudah ngompol terus-terusan, kok. Sehari ia ber'sekolah' di situ saja langsung ngompol , maka seminggu kemudian saya ambil." Jadi, Bu-Pak, pindahkan saja si kecil kalau "sekolah"nya sudah tak bisa dibenahi lagi. Tapi sebaiknya jangan terlalu lama. "Paling lama setelah satu atau dua minggu di awal tahun pengajaran," kata Anggani. Dengan demikian, si anak belum berakar betul di "sekolah" itu. Ia juga belum begitu akrab dengan teman-temannya. 

ORANG TUA MENGAJARKAN DI RUMAH
Biasanya, lanjut Anggani, anak yang tadinya merasa terbebani di "sekolah", setelah dipindahkan justru jadi lega. "Ia jadi lebih happy , merasa lepas dari itu." Tentunya pilih "sekolah" baru yang mempunyai sistem lebih dibandingkan "sekolah" lama. "Sekolah yang baru harus lebih plus. Gurunya lebih menyenangkan, pengajaran yang lebih baik, dan sistem yang lebih baik. Setidaknya yang mau mengakui hak anak secara individual dan memberikan pengajaran secara individual pula." 

Tapi kalau ternyata enggak ketemu yang plus, maka orang tualah yang harus mengimbanginya di rumah. Misalnya, mengajarkan komputer dan bahasa Inggris dengan cara yang benar di rumah. "Malah mungkin hasilnya lebih bagus dibandingkan dari 'sekolah'." Jadi, sebenarnya tanpa dari "sekolah" pun, anak-anak bisa mendapatkan pengetahuan banyak. Begitu pula bila anak terbebani gara-gara PR yang banyak, orang tua tetap harus meng-counter -nya.
"Orang tua di rumah harus pandai-pandai membuat suasana sedemikian rupa bahwa school is nothing . Singkirkan PR itu, sekarang baca dengan Mama saja, enggak usah kerjakan PR itu, misalnya." Atau bisa juga dengan mengajak anak menonton film kesukaannya, main kartu sama ayah atau ibu. "Jangan salah, dengan main kartu pun sebenarnya anak juga belajar membaca karena huruf di kartu ini, kan, bisa saja sama dengan namanya. Pokoknya, lakukan permainan-permainan yang bisa memberi kekebasan anak untuk memilih." 

Tentu saja, orang tua harus menginformasikan kondisi ini pada guru di "sekolah"nya. Misalnya, "Bu, anak saya ngompol terus-menerus selama seminggu ini. Maka dari itu saya minta izin untuk sementara menghilangkan PR-nya dulu karena saya tak ingin anak saya ngompol lagi." Nah, kalau gurunya memaklumi, biasanya gurunya akan mendekati anak dan berusaha menghilangkan trauma yang terjadi. Dengan begitu, anak akan selamat, ia tak akan trauma apa-apa, happy  seperti teman-temannya. 

Selanjutnya, tentu guru menyesuaikan sistem pengajarannya bahwa untuk anak ini terlalu berat apa yang diberikan, mungkin membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk ia dapat mengerjakan materi itu. Bukankah guru harus memperlakukan anak didiknya secara individual? "Kalau pembelajarannya dengan cara bermain, guru bisa melihat secara individual. Setiap anak akan terperhatikan dan bisa diperlakukan dengan cara yang tak sama. Anak itu, kan, unik." 

ENJOY  BILA DILIBATKAN
Sebenarnya, tutur Anggani, anak akan merasa enjoy  di "sekolah" jika ia dilibatkan dalam setiap kegiatan, tak melulu mengerjakan sesuatu karena suruhan guru. "Jadi, anak dibiarkan memilih sendiri apa yang ingin dikerjakannya. Apakah ia mau menggambar, mewarnai, dan sebagainya. Ia pun boleh menggambar apa saja yang paling disukainya. Dengan demikian, anak akan merasa senang." Apalagi, jika dalam setiap aktivitas, gurunya juga mengajak berdialog. Misalnya anak menggambar wajah orang dewasa. Guru bisa minta anak untuk menuliskan apa yang digambarnya. "Saya suka Papa," misalnya. Kalau belum bisa menulis, gurunyalah yang menuliskan. Kalaupun sudah bisa menulis, biasanya yang ditulisnya hanya "papa" saja. 

"Nah, gurunya tetap harus tanya dan meneruskan tulisannya 'aku suka papa' tersebut." Dengan demikian, selain anak akan terdorong untuk belajar meniru tulisan, ia juga akan membuahkan perasaan positif dan kepercayaan diri. Nanti ia akan bilang sama orang tuanya, "Ini gambar saya, judulnya 'Saya suka Papa'." Terlebih lagi jika gurunya kembali bertanya, "Kamu suka Papa kenapa?" Si anak pun akan menjawab, "Karena Papa suka main bola," misalnya.
Nah, minta ia menggambar bolanya, lantas tulis kata "bola". "Jadi, dalam gambarnya itu ada elaborasi, ada kerja keras, sehingga anak pun akan lebih puas. Ia merasa terlibat di dalamnya." Hal ini akan membuatnya merasa enjoy  dan kreativitasnya juga berjalan. Percaya, deh, Bu-Pak, jika sang buah hati ber"sekolah" di TK yang memberikan interaksi demikian, ia akan betah. Bahkan, ia mungkin tak akan mau pulang meskipun sudah waktunya pulang. Jadi, kembali lagi, pintar-pintarnya Bapak dan Ibu dalam memilih TK yang tepat untuk sang buah hati. 

PR TAK ADA GUNANYA
PR menulis dan sejenisnya di TK, menurut Anggani Sudono , tak ada gunanya. Juga tak akan melatih kedisiplinan, malah menyita waktu anak saja. "Justru lebih baik kalau anak diminta membantu ibunya menjaga toko, misalnya. Ia bisa ikut membungkus, menerima orang, bicara dengan orang itu. Itu semua akan mengembangkan kemampuan komunikasinya." Kalaupun ada PR, sebaiknya PR tersebut berupa mereka diminta menggambar sesukanya. "Kamu mau menggambar satu halaman boleh, menggambar dua halaman juga boleh. Temanya pun tak ditentukan." Jadi, tak ada PR menulis huruf dan sebagainya. Bila anak ingin menulis karena di rumah punya papan tulis, misalnya, biarkan ia main-main dan coret-coret sesukanya. Kalau ia mau main guru-guruan bersama teman atau adiknya juga tak apa. Toh, tak ada PR-nya.(MB-9)

Naskah Kiriman Indah Mulatsih

Sumber : KOMPAS


Dilihat sebanyak :
Lihat Artikel Lainnya
Lihat Informasi & Promosi Bisnis
Follow Twitter @MalangBisnisCom















Baca MalangBisnis.com dari mana aja, tersedia versi mobile, Buka dari HP mu...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Membuat Web Langsung Jadi ? INDO9.COM