MalangBisnis.com - S ebenarnya enggak sulit, kok, kalau kita mau sukses jadi ibu sekaligus wanita karier. Kuncinya, ada kemauan untuk membagi waktu dengan baik dan kematangan diri.
Tak mudah memang menjadi ibu rumah tangga yang baik sekaligus dapat mengembangkan diri. Pasalnya,
tugas sebagai ibu dalam menyiapkan anak agar mampu bersaing dan mandiri di masa depan perlu mendapat perhatian dan waktu yang tak sedikit. Sementara itu, kebutuhan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki si ibu juga cukup besar. Sebagaimana kita tahu, dalam karier wanita juga dituntut untuk selalu mengembangkan diri dan siap bersaing agar kariernya terus maju.
tugas sebagai ibu dalam menyiapkan anak agar mampu bersaing dan mandiri di masa depan perlu mendapat perhatian dan waktu yang tak sedikit. Sementara itu, kebutuhan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki si ibu juga cukup besar. Sebagaimana kita tahu, dalam karier wanita juga dituntut untuk selalu mengembangkan diri dan siap bersaing agar kariernya terus maju.
Nah, menghadapi dua tugas yang harus dilakukan dalam waktu bersamaan, tentunya bukan sesuatu yang mudah bagi ibu bekerja. Itulah mengapa, tak sedikit ibu bekerja yang lalu jadi pesimis, "Akankan saya mampu memberikan yang terbaik untuk keluarga dan karier?" Takutnya, pekerjaan di kantor jadi keteter gara-gara perhatian dan waktu lebih tersedot untuk anak. Sebaliknya, kalau urusan kantor yang lebih diperhatikan, akibatnya anak malah jadi terbengkalai. Apakah hal ini berarti wanita tak bisa berperan ganda sebagai ibu sekaligus wanita karier?
Ternyata, enggak juga, kok! Bahwa pelaksanaannya sangat berat, memang betul, tapi bukan berarti dua pekerjaan ini tak bisa kita lakoni seiring sejalan. Seperti dikatakan dra. Nuke S. Arafah , "Kita bisa, kok, menjadi ibu dengan semua tugas dan PR-nya di rumah sekaligus wanita karier." Yang penting, lanjut psikolog dari LKBHIuWK (Lembaga Konseling dan Bantuan Hukum Indonesia untuk Wanita dan Keluarga), Jakarta ini, "ada kemauan untuk bisa membagi waktu. Karena bagi ibu bekerja, yang dibutuhkan bukanlah kuantitas waktu melainkan kualitasnya." Jadi, Bu, jangan pesimis lagi, ya.
WAKTU DAN STAMINA
Nah, agar kebutuhan akan kualitas waktu dapat terpenuhi, berarti ibu bekerja harus bisa meluangkan waktu yang tersisa saat sepulang bekerja untuk melakukan kegiatan dan pembicaraan intens dengan suami dan anak. "Waktu yang ada harus betul-betul diisi dengan hal-hal bermanfaat yang melibatkan seluruh keluarga," nasehat Nuke. Misalnya, isilah obrolan tentang kegiatan anak-anak di "sekolah" atau hal-hal lain seputar suami dan ibu. Jadi, saling share , berbagi cerita. "Saat itu merupakan kesempatan bagi ibu untuk memperhatikan kebutuhan anak dan memasukkan pendidikan agama, budi pekerti, serta sopan santun pada anak," lanjut Nuke.
Itulah mengapa, sarannya, sepulang kantor, anak-anak sedapat mungkin selalu bersama ibu. "Bila kualitas waktu bisa dijalankan dengan baik, saya yakin, urusan rumah dan pekerjaan pun bisa tertata dengan baik." Tentunya, pengisian waktu secara berkualitas juga bisa dilakukan pagi hari sebelum berangkat ke kantor. "Sebelum berangkat, ibu harus memastikan bahwa semuanya beres," kata Nuke. Untuk itu, ibu harus bisa menghitung lama perjalanan yang dibutuhkan dari rumah ke kantor, apakah cukup jauh sehingga membutuhkan waktu lama. Bila jaraknya cukup jauh, ibu harus rela bangun lebih pagi agar sempat menyiapkan kebutuhan anak-anak dan rumah. Jadi saat ibu berangkat, semuanya sudah rapi. "Hal-hal seperti ini, kan, juga berkaitan dengan manajemen waktu," tandasnya.
Bagaimana, Bu, satu solusi sudah ketemu, kan? Pokoknya, sepanjang kita mau mengelola waktu dengan baik, tak usah cemas salah satu bakalan enggak keurus . Memang, yang namanya manusia, seringkali karena capek bekerja di kantor, begitu pulang ke rumah rasanya ingin segera istirahat. Padahal, anak-anak di rumah juga menuntut, kalau ibu sudah pulang kantor berarti kesempatan mereka bermain dengan ibu. "Dalam hal ini dibutuhkan kematangan dan kedewasaan dari ibu," ujar Nuke. Capek sepulang bekerja itu wajar, lanjutnya, tapi bukankah ibu punya tanggung jawab besar untuk mengurus rumah? "Jadi, ibu harus bisa menunda rasa capeknya. Barulah setelah anak-anak beres, suami oke, ibu bisa memikirkan dirinya sendiri. Mau tidur atau rileks, silakan. Mau makan apa saja yang disuka atau membaca buku, silakan," tuturnya. Dari pengamatan Nuke, ternyata banyak, lo, ibu bekerja yang berhasil dengan cara demikian. "Mereka mengatur betul waktunya."
Namun tentu saja, ibu juga harus punya fisik dan stamina yang tetap segar agar mampu menjalankan dua akitivitasnya itu dengan baik. Untuk itu, tak ada salahnya bila ibu bekerja mempunyai orang yang bisa dipercaya untuk mengasuh anak. Entah babysitter , pembantu yang dipercaya, atau keluarga dekat. "Dengan demikian, ibu hanya bertindak sebagai pengawas sehingga energinya bisa dialihkan untuk mengisi waktu secara kualitas dengan keluarga. Karena sebagai ibu bekerja, kita juga harus cukup tidur dan istirahat agar energi kita cukup memadai untuk di kantor dan anak-anak," tutur Nuke.
HILANGKAN RASA BERSALAH
Bila kita sudah bisa membagi waktu dengan baik, yang harus kita lakukan selanjutnya ialah menghilangkan perasaan bersalah. Bukankah biasanya para ibu bekerja sering dihinggapi oleh rasa bersalah karena mengurangi waktu bersama anak? Celakanya, rasa bersalah tersebut sering dikompensasikan dengan memanjakan anak secara berlebihan, entah dengan tumpahan kasih sayang maupun hadiah mahal dan tak perlu. Padahal, sikap kita yang demikian justru hanya akan menyebabkan anak cenderung jadi manja dan tak mandiri. "'Membayar' rasa bersalah ibu dengan kemanjaan yang berlebihan bukanlah bentuk pendidikan yang baik karena kita menghadapi anak bukan hanya sekarang ini tapi untuk seumur hidupnya," terang Nuke. Selain itu, harus diingat pula, apa yang kita lakukan akan berpengaruh pada anak.
"Bukankah niat kita mendidik supaya kelak bisa mandiri dan tangguh? Nah, kalau sejak kecil ia sudah biasa dimanjakan, akankah ia bisa menjadi pribadi yang tangguh? Jadi, hendaknya ibu-ibu berpikir panjang sebelum memanjakan anak," nasehatnya. Sebenarnya, tutur Nuke, ibu bekerja tak perlu sampai merasa bersalah. Pasalnya, sudah umum bila seorang ibu masa kini juga berkarier. Lagi pula, belum tentu ibu yang tinggal di rumah tak mempunyai rasa bersalah. "Bisa saja, walau ia cuma tinggal di rumah tapi karena enggak peka, tak peduli kala anak membutuhkannya, maka saat terjadi apa-apa pada anak, ia pun menyesal. Misalnya, kenapa saya tak ada di sampingnya pada saat ia membutuhkan saya? Padahal, saya tak bekerja. Jadi sebetulnya feeling guilty itu sangat relatif. Makanya sebaiknya dihilangkan saja."
Daripada selalu dirundung perasaan bersalah, Nuke menyarankan, lebih baik kita mengarahkan pola pikir anak agar anak bisa lebih memahami situasi yang dihadapinya. "Terangkan pada anak, tentu dengan bahasa mereka, mengapa ibu tak bisa sepenuh waktu bersama mereka. Terangkan pula mengapa ibu perlu bekerja sekarang ini. Tanamkan pada anak bahwa ibu yang bekerja itu sudah umum dan ada manfaatnya untuk keluarga. Misalnya, kalau ibu bekerja, maka nanti kalian bisa mendapat pendidikan yang bermutu karena pendidikan yang bermutu itu membutuhkan dana yang tak sedikit. Nah, kalau ibu juga ikut bekerja, maka ibu punya cukup uang untuk membayar pendidikan bermutu tersebut." Dengan adanya pemahaman anak sejak dini, jelas Nuke, akan meminimalkan konflik batin ibu sehingga ibu tak terus menerus dihantui rasa bersalah.
Cara lain yang dianjurkan Nuke, lebih sensitif terhadap kebutuhan anak. Misalnya, saat mau berangkat ke kantor, kita harus melihat kira-kira apa kebutuhan si kecil pada hari itu. Kalau bisa, penuhi saat itu juga. Kalau tidak, bicarakanlah solusinya dengan anak. Misalnya, si kecil kelihatan murung atau terlihat ingin menyampaikan sesuatu, ibu bisa bilang, "Ibu tahu, kamu membutuhkan Ibu tapi Ibu harus pergi ke kantor karena ini adalah suatu kewajiban. Kira-kira bisa menunggu Ibu pulang kantor atau tidak? Nanti kalau Ibu sudah pulang, kita cerita, ya?"
Tentunya, begitu ibu pulang kantor, jangan lupa untuk segera menghampiri anak atau mengusahakan pulang lebih cepat dari kantor. Bisa juga dengan memanfaatkan teknologi komunikasi yang sudah semakin maju seperti telepon genggam. Misalnya, dalam perjalanan ke kantor, ibu melanjutkan pembicaraan tadi ketika hendak berangkat. Dengan demikian, masalah anak bisa secepatnya diselesaikan tanpa si anak harus menunggu sampai ibu pulang kantor. Tentunya alat komunikasi tersebut juga sebaiknya dimanfaatkan untuk menjaga komunikasi dengan anak dan anggota keluarga lainnya. Jadi, pesan Nuke, jangan lupa untuk selalu berkomunikasi dengan anak. "Juga, selalu memberi tahu kepada anak ke mana mengontak ibu bila dibutuhkan sehingga komunikasi dengan anak bisa tetap berlangsung." Anak pun tentunya akan merasa senang, tak merasa dicuekin , "karena, meski ibu tak di rumah, toh, setiap saat aku bisa menghubungi ibu."
HARUS KREATIF
Kendati waktu sudah diatur sedemikian rupa, namun karena tuntutan keluarga yang semakin tinggi, misalnya, anak yang semakin membutuhkan perhatian, tak jarang ibu bekerja kembali dihadapkan pada pilihan antara karier dan tugas sebagai ibu. Saran Nuke, tak perlu kecil hati. "Kalau kita kreatif, sebenarnya di rumah pun ada saja yang bisa dikerjakan. Mungkin kita bisa membuat pekerjaan tangan yang menghasilkan sambil tetap mengawasi anak. Iya, kan! Apalagi sekarang home-industri dan pelayanan jasa juga bisa dilakukan di rumah." Karena itulah, menurut Nuke, kreativitas harus juga dipunyai ibu bekerja. Dengan demikian, kita tak hanya terpaku pada pekerjaan kantor.
"Hobi juga bisa dikembangkan untuk menghasilkan uang, lo. Banyak, kan, ibu-ibu bekerja yang ketika harus meninggalkan kariernya namun tetap percaya diri?" Bukan berarti ibu bekerja yang enggan meninggalkan kariernya tak punya kreativitas, lo, melainkan karena mereka sulit meninggalkan hal-hal rutin. "Bila kita sudah bekerja bertahun-tahun di suatu kantor, kita melihatnya sebagai kekuatan tersendiri; kita sudah mempunyai rasa aman. Dengan demikian, saat kita harus keluar atau meninggalkan kantor, kita takut kehilangan rasa aman itu. Padahal, yang rutin itu justru sering menyebabkan kita kehilangan kreativitas untuk membuat sesuatu yang baru."
Jadi, Bu, kuncinya adalah kreativitas. Kalau kita kreatif, yakin, deh, kita juga bisa, kok, bekerja di rumah. Lain hal bila keengganan meninggalkan karier disebabkan ada perasaan takut kebanggaannya sebagai wanita karier akan hilang dengan men-switch -nya sebagai ibu rumah tangga murni. Tak ada satu pun ahli yang bisa memberikan jalan keluar karena harus dikembalikan ke diri masing-masing, apa yang menjadi prioritasnya: keluarga atau diri sendiri, kebanggaan sebagai wanita bekerja atau tuntutan keluarga yang lebih penting? "Bila Anda sudah menentukan prioritas, ya, itulah pilihannya," tandas Nuke. Tentu dengan segala konsekuensinya, lo.
AJAKLAH SUAMI, BU!
Beban kita jadi makin lebih ringan, lo, bila suami juga diajak dalam mengurus anak. Misalnya, pada saat anak sakit atau pembantu pulang kampung sementara acara kita di kantor lagi padat-padatnya. Coba, deh, ajak suami untuk bersama-sama mencari jalan keluar. Katakan, misalnya, "Duh, Yah, hari ini Ibu padat sekali acaranya. Bagaimana, ya? Bisa enggak jika Ayah cuti untuk menunggui si kecil atau pulang sebentar menengoknya di rumah?"
Psikolog Nuke yakin, suami bisa diajak bicara dan bergantian mengurus anak. "Apalagi ayah jaman sekarang, kan, sudah semakin menyadari perannya bahwa mengurus anak bukan melulu tanggung jawab ibu," tuturnya. Kita pun jangan segan-segan untuk mengingatkan suami bila ia terlihat enggan terlibat dalam pengasuhan anak. Namun tentunya, lebih dulu kita harus mencari waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan suami. Katakan, tentunya tanpa emosi, bahwa kita keberatan mengasuh anak sendirian. Bukankah punya anak adalah kemauan berdua? "Dengan memberi tahu secara baik-baik pada saat yang tepat dan situasi yang pas, biasanya suami pun bisa mengerti dan mau terlibat," lanjut Nuke.
Kadang istri memang dibutuhkan lebih dewasa dari suami, tambahnya, meskipun ada kalanya pula istri lebih manja. "Itulah dinamika perkawinan. Yang penting, komunikasi harus terus dilakukan. Kalau kita enggak ngomong, bagaimana suami bisa tahu keberatan kita, kan?" Tapi, bagaimana kalau suami ternyata tak mau juga diajak terlibat? Jawabannya, menurut Nuke, kembali pilihan pada peran ganda sangat tergantung dari diri kita sendiri. "Anda bekerja untuk apa? Mengapa Anda bekerja? Bagaimana tanggung jawab Anda terhadap anak-anak dan suami? Semuanya harus dipikirkan sebelum Anda memutuskan memilih peran ganda tersebut." Tentunya bila kita memilih berperan ganda, maka segala konsekuensinya juga harus diterima, bukan? (MB-8)
Sumber : KOMPAS
Lihat Artikel Lainnya
Lihat Informasi & Promosi Bisnis
Follow Twitter @MalangBisnisCom
Baca MalangBisnis.com dari mana aja, tersedia versi mobile, Buka dari HP mu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar