MalangBisnis.com - RICHA Novisha (25) mengaku pernah menjadi korban hipnotis. Kejadiannya beberapa tahun lalu, sebelum menikah. Suatu hari, ia ditelepon nomor tak dikenal. Ketika diangkat, orang yang menelepon mengatakan, Richa mendapat undian berhadiah.
 
“Katanya dapat hadiah perhiasan. Aku sama sekali enggak sadar, hanya menuruti kata-kata orang itu saja. Untuk mengambil perhiasan itu, aku
diminta transfer uang sekian juta. Kata Mama, yang waktu itu melihat, aku ngomongnya iya, iya saja. Aku diminta ke ATM terdekat. Aku pergi bawa mobil sendiri. Sampai di ATM diminta menekan jumlah sekian, ke nomor rekening sekian. Telepon terus mati. Struk ATM keluar. Uang sudah ketransfer. Baru aku sadar. Bingung, lihat struk. Aku transfer uang hampir sepuluh juta buat apa?” bilang Richa.

Pulang ke rumah, Richa menangis. “Kata Mama, aku kayak orang linglung. Menuruti perintah, iya, iya saja. Mantra itu hilang pas uang sudah ketransfer. Dilacak enggak bisa. Nomor yang menelepon aku sudah enggak bisa dihubungi,” paparnya. Dihipnotis atau dimantrai? Atau di antaranya? Yang pasti ia tidak sadar dengan apa yang ia lakukan.


Dari peristiwa itu atau dari peristiwa-peristiwa lain di sekitar kita, hampir semua korban mengatakan, “Saya terhipnotis”. Kata siapa terhipnotis? Kata si korban atau kata media. Ada sedikit kesalahan interpretasi atau penyalahgunaan terminologi hipnotis yang dipakai dalam menginterpretasi tipe kejahatan yang terjadi belakangan ini.

Kami menemui beberapa pakar hipnotis atau hipnosis, yang disebut para hipnoterapis, Romy Rafael dan Baby Jim Aditya, untuk mencari penjelasan.
Untuk melakukan hipnosis atau biasa kita kenal sebagai hipnotis, sebenarnya korban harus menyetujui hipnotis terhadap dirinya. Ada “will”, ada kesepakatan antara orang yang menghipnotis dan yang dihipnotis.

Rommy Rafael & Baby Jim Aditya
Penghipnotisan pun harus dilakukan bertahap. Pada sesi pertama, sesi pengenalan, dibutuhkan satu sampai dua jam untuk melakukan hipnoterapi. Yang dilakukan dalam terapi ini adalah memberi sugesti positif, mengubah mindset yang kurang baik (negatif) tentang diri ke arah yang positif. Dan hipnotis itu sendiri memiliki batasan. Bisakah seseorang dihipnotis dalam kasus kejahatan?
 
Jangankan disuruh mengambil uang di ATM, mengungkapkan apa yang tidak ingin kita ungkapkan atau melakukan apa yang tidak ingin kita lakukan dalam keadaan terhipnotis saja tidak bisa. Kuncinya, tidak ada “keinginan” dan “kesepakatan” tadi.

“Jadi hipnotis pada dasarnya tidak bisa digunakan untuk kejahatan. Karena dalam hipnotis harus ada persetujuan dari si objek. Coba berpikir dengan logika terbalik, kalau hipnotis bisa dipakai untuk kejahatan, kenapa enggak membobol Bank Indonesia saja? Atau dipakai untuk menginterogasi koruptor, biar mengaku? Kan cepat?” tantang Romy Rafael. 

Baby Jim Aditya, aktivis, psikolog, dan hipnoterapis juga mengatakan hal serupa. “Kalau value-nya bertentangan dengan diri kita, enggak bisa terjadi,” jelas Baby.

Lalu bagaimana korban-korban “hipnotis” itu seperti dihipnotis? Romy maupun Baby menjelaskan, korban sebenarnya diperdaya atau ditipu secara persuasif. Kalau memperhatikan secara detail rentetan peristiwa yang terjadi, si pelaku atau orang asing ini selalu memulainya dengan mengajak mengobrol, menawarkan sesuatu, atau berusaha memecah konsentrasi. Ada celah, ada kelengahan yang sengaja diciptakan untuk memecahkan konsentrasi.

Mereka akan mudah menyetujui apa yang dikatakan pelaku. Misalnya, korban ditawari jam atau handphone dengan harga murah. Jika korban ada rasa ingin sedikit saja, maka alam bawah sadarnya akan menutup segala kecurigaan atas tindakan kejahatan selanjutnya yang akan dilancarkan.

Selanjutnya, pelaku kejahatan ini memanfaatkan rasa iba, sampai rasa simpati. Jangan salah, tipu daya itu dimulai dengan rasa kagum dan hormat kepada penjahat yang sengaja membangun “imej” agar korban percaya.

“Namanya hypnotical power alamiah. Kekuatan ini sebenarnya ada pada setiap orang. Apalagi pada sosok-sosok seperti guru, pemuka agama. Ada penjahat yang memanfaatkan ini. Mereka beraksi pakai peci, pakai baju koko. Dikira ustad, kyai, orang yang dipercaya, dihormati. Akhirnya disuruh apa saja, menurut,” jelas Baby.

Jadi jawabannya, hipnotis tidak bisa dilakukan untuk kejahatan. Kata ini sendiri lahir dari ilmu kedokteran. Yang terjadi adalah murni tipu daya atau penipuan menggunakan teknik persuasif. Tapi kenapa bisa menuruti perkataan penjahat itu? Karena Anda mau mempercayai orang itu dan tidak berpikir logis.(MB-8)

***

Sumber : KOMPAS


Dilihat sebanyak :
Follow Twitter @MalangBisnisCom















Baca MalangBisnis.com dari mana aja, tersedia versi mobile, Buka dari HP mu...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Membuat Web Langsung Jadi ? INDO9.COM