MALANG-BISNIS.com -Laga antara Indonesia dan Malaysia di final Piala AFF 2010, adalah perjumpaan dua tim dengan bagasi aneka sentimen hubungan kedua negara. Pada duel itu, segala macam ketegangan politik dua negara bertetangga ini pun seakan membuncah.

Malaysia punya kenangan buruk tentang Indonesia. Pada 1957, Soekarno pernah membakar dengan seruan “Ganyang Malaysia”. Lalu, Indonesia punya catatan menjengkelkan soal Malasyia. Negeri tetangga itu dinilai kerap “cari perkara”.

Dari Malaysia, misalnya, kerap bertiup isu perlakuan tak adil pada TKI. Lalu, ada sengketa Sipadan-Ligitan, sampai soal “adu gertak” di perairan Blok Ambalat. Atau soal wasit karate Indonesia yang digebuk petugas keamanan Malaysia pada Agustus 2007.

Belum lagi ulah Malaysia mengklaim lagu "Rasa Sayange" pada kampanye promosi pariwisata Malaysia 2007, serta klaim reog Ponorogo sebagai kesenian asli Malaysia dengan nama "barongan" pada 2008. Hubungan kedua negara pun jadi kian panas.

Sentimen politis inilah kerap muncul kembali manakala tim nasional sepakbola kedua negara bertemu. Puncaknya, pertemuan antara Indonesia dan Malaysia di partai final Piala AFF 2010.

Pertandingan ini mendadak menjadi ajang 'politik.' Penampilan apik Indonesia sejak babak penyisihan kembali membangkitkan euforia sepakbola. Naturalisasi dan nasionalisme bersanding erat di Tim Merah Putih.

Apalagi pada laga pertama, Indonesia sukses menghancurkan Malaysia 5-1. Disusul hasil-hasil menggembirakan atas Laos 5-0, raja Asia Tenggara Thailand 2-1, serta dua kemenangan 1-0 atas Filipina di semifinal.

Tak disangka, negeri jiran Malaysia kembali menunggu di final. Ajang di mana semuanya dipertaruhkan demi trofi serta label sebagai raja sepak bola di Asia Tenggara.

Publik Indonesia pun menyambut laga ini dengan antusiasme luar biasa. Di jalanan, warga memakai semua atribut Tim Garuda dan Merah Putih kini bertebaran dikenakan warga Indonesia di jalanan. Asesoris dan semua pernik Timnas laris bak kacang goreng. Tiket pertandingan pun jadi buruan warga dari sekujur negeri.

Penampilan apik Tim Merah Putih seakan menjadi sihir pemikat. Dukungan penuh dari segala elemen dan penjuru tanah air mengangkat moral pasukan Merah Putih.

Mendadak, sepakbola menjadi ‘agama' di Indonesia. Seperti halnya di Eropa dan Amerika Latin.

Kunci di nonteknis
Sebenarnya kapasitas dan kemampuan teknis para pemain Merah Putih tak beda jauh dengan Thailand, Malaysia, maupun Vietnam. Saat kemampuan teknis tak beda jauh, kemampuan nonteknis bisa menjadi pembeda.

Untuk soal ini, pelatih Alfred Riedl piawai mengangkat moral pasukannya.
Alfred mampu berperan sebagai 'bapak'. Di satu sisi, dia sangat tegas dan disiplin. Tapi, saat anak didiknya berbuat salah, ke dunia luar Riedl tak menunjukkan dia marah. Dengan sabar, dia minta anak asuhnya tak lagi mengulang kesalahan, serta mencari solusinya.

Lelaki 61 tahun asal Austria ini juga tak mau menilai satu per satu pemainnya. Pun menunjukkan siapa pemain yang tampil bagus, atau jelek kepada media misalnya. Itu salah satu kiat Riedl membangkitkan mental, dan membuat pasukannya semakin percaya diri.

"Jika tim main jelek atau kalah, maka salahkan saya saja," kata Riedl suatu ketika.

Alhasil, mental Firman Utina cs kian kuat di bawah arahan Riedl. Ahmad Bustomi yang terbilang wajah baru, tak kena demam panggung. Dia berani tampil di lapangan. Arek Malang ini sangat lugas dan menjadi motor di lini tengah bersama Firman, Muhamad Ridwan atau Arif Suyono dan Oktovianus Maniani.

"Tim sekarang ini sangat harmonis. Kebersamaan kami juga sangat kuat," ujar Bustomi.

Riedl juga menciptakan hubungan harmonis antara pemain senior dan junior. Tak ada predikat anak emas, bintang, apalagi kambing hitam dalam timnya.  Semuanya diperlakukan sama. Bahkan, striker kawakan Bambang Pamungkas yang menjadi pencetak gol terbanyak Tim Merah Putih, harus rela selalu menjadi cadangan.

Untuk soal ini, Riedl tak menepikan Bambang. Bahkan, dia masih menganggap Bambang anutan bagi pemain muda Indonesia. "Fungsi dan posisi Bambang Pamungkas saat ini mirip-mirip sebagai joker," ujar asisten Riedl, Wolfgang Pikal.

Alhasil, permainan Tim Merah Putih tampak rancak di lapangan. Dari gelandang dan penyerang mampu mencetak gol. Tim dengan kapasitas seperti ini sangat berbahaya. Karena pusat perhatian lawan tak bertumpu kepada satu atau dua orang pemain saja.

The Winning Team
Selain piawai mengangkat moral pasukannya, Riedl tampaknya sudah menemukan formasi the winning team Indonesia. Starting XI ini tak pernah diubah-ubah Riedl. Meski dia bilang,"semua pemain memiliki kemampuan setara dan siap diturunkan."

Kiper Markus Horison, duet bek tengah Maman Aburahman dan Hamka Hamzah, serta bek sayap Muhamad Nasuha dan Zulkifli Syukur menjadi tembok di lini belakang. Zulkifli dan Nasuha tak jarang ikut mengalirkan serangan.

Di tengah, co captain Firman Utina menjadi pendobrak, dan pengatur ritme permainan. Firman juga piawai mencetak gol, serta memberikan aneka umpan matang.

Duet ini disokong dua sayap cepat Muhamad Ridwan dan Oktovianus Maniani. Ridwan di kanan, dan Okto di kiri. Keduanya menjadi 'pelayan' duet Cristian 'El Loco' Gonzales dan Irfan Bachdim dengan umpan silangnya. The Winning Team ini hanya butuh kebugaran untuk menjadi tim tak terkalahkan.

Sedikit ujian akan dilalui Riedl ketika Okto dan El Loco diganggu cedera jelang laga final. Tapi, biasanya Riedl punya solusi atas semua problem yang dihadapi pasukan Merah Putih.

Dua laga di Stadion Nasional Bukit Jalil, 26 Desember, dan Stadion Utama Gelora Bung Karno, 29 Desember, menjadi medan pertempuran dan pertaruhan pasukan Riedl.

STARTING XI INDONESIA
Kiper: Markus Horison
Belakang: Zulkifli Syukur, Maman Abdurahman, Hamka Hamzah, Muhamad Nasuha
Tengah: Muhamad Ridwan, Ahmad Bustomi, Firman Utina, Oktovianus Maniani
Depan: Cristian Gonzales, Irfan Bachdim (MB-45)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Membuat Web Langsung Jadi ? INDO9.COM