MALANG-BISNIS.COM - ARTIKEL ENTREPRENEUR - Urusan lidah dan perut memang tidak bisa sembarangan. Karena itu, olah resep dan ketajaman insting membaca peluang sangat penting bagi pebisnis kuliner. Pasalnya, salah memasukkan satu bumbu saja, pelanggan bisa kabur.
Kekayaan wawasan beragam resep masakan bisa didapat dari banyak sumber. Buku, koran, majalah, internet, dan acara televisi bisa jadi rujukan para "tukang masak" ini. Tetapi, belajar langsung dari koki sebenarnya, lengkap dengan praktik, tentu menjadi nilai lebih tersendiri.
Hadi Kusumo memang bukan jago masak. Tapi, ia punya kantin di daerah mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan, Jalan Ciumbuleuit, Bandung. Usaha bernama Kantin Juwita itu punya kekhasan menyajikan ayam dan ikan dalam rupa presto, alias tulang lunak.
"Kelebihannya, kami bubuhkan juga kremesan di atas daging itu," katanya saat ditemui di acara Cooking Class East Meet West yang dihelat harian Kompas di Hotel Padma, Kota Bandung, Sabtu (19/6) lalu.
Ia mengaku tidak tahu banyak tentang bumbu-bumbu yang diimbuhkan dalam dagangannya. Pasalnya, masakan setengah jadi dipasok kakaknya. Tugas Hadi adalah menyempurnakannya sehingga bisa mengisi relung perut penyantapnya.
Namun, pelajaran memasak dari Chef Anton Pradipta siang itu bisa menambah wawasannya tentang makanan. Ia menyebut menu iga bakar sego ireng yang diajarkan bisa ia terapkan. "Saya jadi tahu bumbunya. Iga bakal saya ganti dengan ayam atau ikan, sesuai dengan dagangan saya," katanya.
"Harga makanan di kantin saya seporsi sekitar Rp 12.000. Itu sudah harus bersaing dengan warung tenda di seberang kantin yang harganya lebih murah. Kalau bumbu yang diajarkan tadi saya pakai juga, mau dijual berapa masakan saya?" ujarnya.
Persaingan ketat
Lain lagi dengan Heny Adiaksi. Pengusaha salon dan kafe ini berencana membuka restoran keluarga bercita rasa Indonesia di Jalan Diponegoro. Padahal, di sekitar lokasi itu sudah bertebaran berbagai tempat makan yang menyajikan masakan serupa. Tetapi, ia tak gentar.
"Restoran itu nantinya banyak menyajikan masakan Nusantara, tetapi juga ada makanan ala barat seperti steak atau spaghetti. Dari kelas memasak seperti ini, saya belajar tentang cara penyajian dan pengolahan aneka bahan. Saya yakin masakan di restoran saya nanti bisa bersaing dengan yang lain meskipun sangat mungkin ada menu sama," kata Heny.
Selain mengandalkan bumbu, Heny yakin lokasi yang tak jauh dari Gedung Sate dan sentra factory outlet di Jalan LL RE Martadinata bakal mendongkrak omzet. Karena berdekatan dengan perkantoran pemerintah, Heny akan menyediakan ruang khusus untuk rapat-rapat pejabat.
Seperti yang dituturkan Heny, peluang berbisnis kuliner masih sangat terbuka. Tentu saja perlu kecerdikan dan keuletan untuk bisa bertahan. Belajar masak dari koki profesional hanya salah satu cara untuk memuaskan lidah dan perut konsumen. (MB-03)
Kekayaan wawasan beragam resep masakan bisa didapat dari banyak sumber. Buku, koran, majalah, internet, dan acara televisi bisa jadi rujukan para "tukang masak" ini. Tetapi, belajar langsung dari koki sebenarnya, lengkap dengan praktik, tentu menjadi nilai lebih tersendiri.
Hadi Kusumo memang bukan jago masak. Tapi, ia punya kantin di daerah mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan, Jalan Ciumbuleuit, Bandung. Usaha bernama Kantin Juwita itu punya kekhasan menyajikan ayam dan ikan dalam rupa presto, alias tulang lunak.
"Kelebihannya, kami bubuhkan juga kremesan di atas daging itu," katanya saat ditemui di acara Cooking Class East Meet West yang dihelat harian Kompas di Hotel Padma, Kota Bandung, Sabtu (19/6) lalu.
Ia mengaku tidak tahu banyak tentang bumbu-bumbu yang diimbuhkan dalam dagangannya. Pasalnya, masakan setengah jadi dipasok kakaknya. Tugas Hadi adalah menyempurnakannya sehingga bisa mengisi relung perut penyantapnya.
Namun, pelajaran memasak dari Chef Anton Pradipta siang itu bisa menambah wawasannya tentang makanan. Ia menyebut menu iga bakar sego ireng yang diajarkan bisa ia terapkan. "Saya jadi tahu bumbunya. Iga bakal saya ganti dengan ayam atau ikan, sesuai dengan dagangan saya," katanya.
"Harga makanan di kantin saya seporsi sekitar Rp 12.000. Itu sudah harus bersaing dengan warung tenda di seberang kantin yang harganya lebih murah. Kalau bumbu yang diajarkan tadi saya pakai juga, mau dijual berapa masakan saya?" ujarnya.
Persaingan ketat
Lain lagi dengan Heny Adiaksi. Pengusaha salon dan kafe ini berencana membuka restoran keluarga bercita rasa Indonesia di Jalan Diponegoro. Padahal, di sekitar lokasi itu sudah bertebaran berbagai tempat makan yang menyajikan masakan serupa. Tetapi, ia tak gentar.
"Restoran itu nantinya banyak menyajikan masakan Nusantara, tetapi juga ada makanan ala barat seperti steak atau spaghetti. Dari kelas memasak seperti ini, saya belajar tentang cara penyajian dan pengolahan aneka bahan. Saya yakin masakan di restoran saya nanti bisa bersaing dengan yang lain meskipun sangat mungkin ada menu sama," kata Heny.
Selain mengandalkan bumbu, Heny yakin lokasi yang tak jauh dari Gedung Sate dan sentra factory outlet di Jalan LL RE Martadinata bakal mendongkrak omzet. Karena berdekatan dengan perkantoran pemerintah, Heny akan menyediakan ruang khusus untuk rapat-rapat pejabat.
Seperti yang dituturkan Heny, peluang berbisnis kuliner masih sangat terbuka. Tentu saja perlu kecerdikan dan keuletan untuk bisa bertahan. Belajar masak dari koki profesional hanya salah satu cara untuk memuaskan lidah dan perut konsumen. (MB-03)
ARTIKEL LAINNYA DIKATEGORI INI :
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar